Saturday, 20 December 2014

Pesan Ibu


Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, “Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!”

“Tidak Dik, saya mau makan nasi saja,” kata si pemuda menolak.

Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.

Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, “Tidak Dik, saya sudah kenyang.”

Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, “Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om.”

Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. “Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya.”

Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.

Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, “Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?”

“Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu.”

Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. “Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh.” Si anak pun segera menghitung dengan gembira.

Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, “Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu.”

Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, “Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami.”

Teman-teman yang luar biasa,

Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.

Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.

... baca selengkapnya di http://goo.gl/GHoztP


Local Wisdom: Sing Jembar Segarane, Luaskan Lautanmu
Oleh: Agung Praptapa

Saya terkejut dengan datangnya telepon yang mengaku dari Gedung Putih. “Ini dari asisten pribadi Presiden Obama, beliau minta disambungkan pada Anda” kata suara seorang wanita dalam bahasa Inggris yang temponya dipelankan karena sadar sedang berbicara dengan seseorang yang berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Tentu saja saya setuju. Suatu kehormatan yang luar biasa ditelpon oleh seorang presiden Amerika. Dan ternyata benar, ini memang telepon dari Obama. Saya sangat kenal dengan suaranya, termasuk diucapkannya “kata-kata sandi“ yang sering kita jadikan sebagai guyonan. Saya cukup heran karena dia masih ingat dengan baik beberapa istilah yang sering kita gunakan saat itu. Setelah berbasa-basi dengan Obama karena sudah hampir 10 tahun kita tidak saling berjumpa, dia masuk pada pokok persoalan.
 
“Kamu kan orang jawa, saya ingin dengar saran kamu yang khas seperti kamu sampaikan sewaktu kamu masih di Amerika dulu” katanya. Saya jadi ingat, sewaktu sama-sama kuliah di Amerika memang saya dan Obama sering terlibat obrolan, bertukar pikiran tentang falsafah manajemen Jawa. Dia sangat antusias bila saya mulai mengusulkan beberapa alternatif pemecahan masalah ekonomi dan bisnis Amerika dengan pendekatan manajemen jawa. Obama juga sangat cerdas dalam membandingkannya dengan pola manajemen barat.

Pertama-tama yang dia sampaikan adalah soal krisis keuangan dunia, yang bermula dari Amerika, dan mau tidak mau harus dia terima sebagai warisan yang tidak menyenangkan dari pemerintahan sebelumnya. Sejak dia terpilih jadi presiden sampai sekarang harga saham menurun tajam sampai 3.000 poin. Kemudian dia juga mengeluhkan dukungan kongres yang setengah-setengah tentang kebijakan pemulihan ekonomi Amerika. Dia sampaikan pula bahwa sudah mulai banyak pelobi Amerika yang merasa dibatasi ruang geraknya, sehingga diam-diam mereka mulai membatasi pula dukungannya kepada pemerintahannya. Belum lagi serangan tersembunyi dari staf gedung putih yang gajinya sempat ia pangkas. Yang paling menjengkelkan, adalah celotehan seorang penyiar radio yang bernama Rush Limbaugh, yang karena kepiawaiannya mengolok-olok sang presiden, dia justru mendapatkan bayaran sampai Rp.300 milyar! Masih banyak lagi yang dia sampaikan yang terlampau panjang kalau saya tulis disini.

“Mr. President,” begitu saya memulai saran saya, “yang pertama saya sampaikan adalah sing jembar segarane”. Itu adalah kalimat dalam bahasa jawa yang terjemahan langsungnya adalah “luaskan lautanmu” Ini falsafah jawa untuk menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah seperti sebuah pasir kecil ditengah samudera yang luas. Manusia bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan jagad raya ini. Sangat sombong buat seorang manusia bila dia merasa dirinya besar dan bisa berbuat sekehendak hatinya. Manusia adalah bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan, yang apapun gerakannya tak akan lepas dari irama alam, yang dikendalikan oleh Tuhan Sang Pencipta.

Kalau dilihat dari sisi manajemen, ini mengisyaratkan bahwa kita adalah bagian dari suatu sistem manajemen, yang harus kita ikuti iramanya, sesuai dengan pola dan aturan yang telah ditetapkan dalam manajemen itu sendiri. Tidak pada tempatnya bila seseorang merasa bahwa sistem manajemen selalu bisa diatur. “Sistem yang harus mengikuti apa yang saya mau, bukan saya yang harus mengikuti sistem.” Paham yang keliru inilah yang membuat konsisi sosial ekonomi kita porak poranda karena semua sistem yang ada banyak ditinggalkan oleh orang-orang yang sebetulnya harus mentaatinya. Sistem memang ‘hanya’ buatan manusia, tetapi begitu ditetapkan, harus kita patuhi bersama.

Hal kedua berkaitan dengan “jembar segarane” adalah kita harus memiliki kesabaran dalam menghadapi masalah. Kesabaran disini bukan berarti bergerak pelan-pelan, tetapi harus memiliki pemahaman yang kritis terhadap masalah yang dihadapi. Segalanya harus ditempatkan sebagaimana mestinya. Termasuk diri kita sendiri. Mengambil keputusan harus berdasarkan data yang akurat, atau setidak-tidaknya adalah alasan yang masuk akal, yang kita yakini kebenarannya.

Aspek ketiga tentang “jembar segarane” adalah kita harus memperluas cakrawala, memperluas wawasan kita, dan memperdalam pemahaman kita tentang diri kita maupun orang lain. Kita tidak cukup hanya memahami diri sendiri, walaupun itu juga tugas yang tidak mudah. Memahami diri sendiri berarti kita harus rela menempatkan diri kita sebagai bagian dari proses pembelajaran. Memahami orang lain tidak kalah pentingnya. Dalam dunia bisnis, barang siapa pandai memahami orang lain, merekalah yang akan berhasil menempatkan produknya. Dengan kata lain, mendapatkan pasar. Sangatlah lucu apabila kita menuntut kustomer untuk memahami kita. Kitalah yang harus memahami kustomer!

Selanjutnya, “jembar segarane” berarti kita harus siap menjadi sorang “pemaaf yang baik”. Seorang pemaaf yang baik bukanlah orang yang selalu mentolerir segala bentuk kesalahan, namun adalah seorang yang bijak dalam memahami batas-batas kemampuan manusia. Manusia tidak ada yang lepas dari kesalahan, tetapi bukan berarti kesalahan adalah suatu hal yang selalu harus dimaklumi dan dimaafkan. Kesalahan harus dipandang sebagai pembelajaran, sehingga tidak terulang kembali dimasa datang.

Apa yang saya katakan tadi tentunya tidak pantas disampaikan secara langsung kepada sang presiden, yang saya yakin sudah sangat paham tentang hal-hal seperti itu. Namun apa salahnya kalau saya berbagi, dan saling mengingatkan, untuk suskes kita semua. Toh itupun hanya percakapan imaginer saya dengan Obama. Yang penting disini adalah mari kita tidak henti-hentinya memahami posisi kita didunia ini, termasuk ditempat kita bekerja. Selanjutnya kita tingkatkan kesabaran kita, dengan tetap teguh menjaga stamina kita untuk mendapatkan yang kita mau. Memahami diri sendiri dan orang lain adalah kunci sukses untuk bisa memenangkan persaingan, dan yang terakhir, kita harus memahami dengan baik bahwa hidup adalah belajar. Maka “sing jembar segarane!”

Agung Praptapa, adalah seorang dosen, pengelola Program Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga sebagai konsultan dan trainer profesional di bidang personal and organizational development. Alumni UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana ke Amerika dan Australia, di University of Central Arkansas dan University of Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di berbagai universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di Ohio State University, Kent State University, Harvard University, dan University of London. Saat ini sedang merintis profesi baru sebagai penulis manajemen populer.

Alumni Writer Schoolen Batch VIII.
Website: www.praptapa.com
Blog: www.praptapa.unsoed.net
Email: praptapa@yahoo.com.

http://goo.gl/McA6Ex

Share this

Tag : , ,

0 Comment to "Pesan Ibu"

Post a Comment