Wednesday, 10 December 2014

EXPERIENTIAL MARKETING TUKANG OJEK


17 November 2008 – 06:20 (Her Suharyanto)   Diposting oleh: Hendri Bun

(Rate: 0 / 0 votes)

Ini adalah cerita teman lama saya, Beni namanya, yang tinggal di perumahan di pinggiran Jakarta.

Suatu pagi dia keluar rumah dengan mobil untuk mengantar istrinya ke terminal shuttle bus yang menghubungkan perumahan kami dengan sejumlah lokasi strategis di Jakarta. Teman ini sendiri seorang pekerja freelance yang sibuk, tapi selalu menyempatkan diri mengantar anak-anaknya ke sekolah dan istrinya ke terminal, khususnya kalau tidak ada pekerjaan di luar kota atau luar negeri.

Begitu roda mobilnya berputar, dia melihat Irma, tetangganya, baru saja menutup pintu pagar. Tumben berangkat pagi, begitu pikir teman saya. Biasanya Irma berangkat siang. Belum sempat melihat Beni, Irma sudah melambai ke arah tukang ojek yang mangkal di ujung tikungan. Sedetik kemudian, mobil Beni sudah berada di dekat Irma. Esther, istri Beni, langsung heboh berhai-hai dengan Irma. Dan apa yang terjadi?

“Gue nebeng aja ya, ke terminal shuttle bus…” teriaknya. Kemudian dia berteriak kepada si tukang ojek, “Pak, maaf ya… nggak jadi.”

Mobil pun bergerak. Tetapi sekejap kemudian Beni sempat beradu pandang dengan si tukang ojek. Ada rasa kecewa sekaligus rasa jengkel di mata tukang ojek itu. Bukankah juga ada sebersit rasa benci dalam tatapan itu? Begitu pikir Beni. Cara tukang ojek itu memandang terus terbayang di kepala Beni. Tiba-tiba saja dia merasa bersalah telah merampas rejeki tukang ojek. Padahal jangan-jangan Irma adalah calon penumpang pertamanya, yang akan memberinya uang untuk membeli beras hari ini. Jangan-jangan dia sudah menunggu penumpang sejak subuh. Jangan-jangan sampai sore nanti dia tidak dapat penumpang…

Terganggu dengan rasa bersalah itu, Beni memutuskan untuk menemui tukang ojek yang sering mangkal di dekat rumahnya itu. Dia menyiapkan uang sepuluh ribu rupiah untuk “ganti rugi plus”. Sebab tarif normal dari bloknya ke terminal shuttle bus adalah enam ribu rupiah.

Di tikungan dekat rumahnya tukang ojek itu masih di sana, Ketika Beni lewat, mata tukang ojek itu memandangnya . Beni menerjemahkan pandangan itu sebagai teriakan, “Kamu sudah merampas rejeki anak istriku.”

Maka Beni memilih tak menunda waktu. Begitu memarkir mobil, dia langsung mendekati si tukang ojek. Dengan setulus hati dia minta maaf, dan bermaksud memberi uang “ganti rugi plus” itu kepada si tukang ojek.

Namun reaksi si tukang ojek sungguh di luar perkiraannya.

“Kantongin aja deh pak,” katanya dengan wajah dingin.

Tentu saja Beni kaget bukan main. Tapi dia berusaha tenang, dan terus berusaha bicara baik-baik dengan si tukang ojek. Dia yakin, si tukang ojek pasti akan memahami dan menerima niat baiknya. Hanya harus sabar.

Benar, lama kelamaan si tukang ojek mau buka mulut, bahkan kemudian cenderung curhat. Selama ini, katanya, dia merasa warga kompleks Beni, terutama kaum ibu, cenderung menghindari dirinya. Kalau ada pilihan, warga kompleks, begitu istilah yang dia pakai, akan memilih tukang ojek lain, dan menghindari dirinya.

“Mungkin karena tampang saya sangar, Pak. Tapi mau gimana lagi, tampang saya memang begini,” katanya.

Tetapi hal itu tidak membuatnya surut langkah. Sebaliknya, dia justru berpikir bagaimana cara membuat para ibu dan remaja putri di kompleks itu merasa nyaman memakai jasanya. Wajah boleh sangar, tetapi sebagai penyedia jasa dia ingin profesional… begitulah kira-kira kalau kata-katanya diterjemahkan dalam bahasa bisnis.

Menurut si tukang ojek, satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa dia tidak berbeda dengan tukang ojek lain, bahkan lebih baik, adalah metode experiential (ini bahasa saya). Ketika ada ibu-ibu yang terpaksa, karena tidak ada pilihan lain, untuk memakai jasanya, dia akan memanfaatkan kesempatan itu untuk membuktikan bahwa yang sangar hanya wajahnya.

“Saya usahakan bawa motor setenang mungkin, nggak ngebut,” katanya. Dia juga akan memancing penumpangnya dengan obrolan ringan. Kalau penumpangnya senang ngobrol dia akan meladeni sekaligus untuk menunjukkan jati dirinya. Tapi kalau sang penumpang tidak suka ngobrol, dia akan diam, tetapi dia akan menjaga kesopanan dan keramahannya. “Saya satu-satunya tukang ojek yang nggak pasang tarif,” katanya.

Beni menjadi lebih paham. Tukang ojek itu kecewa bukan semata-mata kehilangan uang enam ribu rupiah, tetapi kehilangan peluang melakukan experiential marketing dengan pelanggan potensialnya. “Ibu itu belum pernah pakai saya…” tuturnya.

Maka Beni kemudian bilang, “Pak, tolong ini terima saja. Cuman ini. Tapi saya janji, saya akan bilang ke ibu-ibu kompleks ini tentang siapa sebenarnya Bapak.”

Beni memenuhi janjinya. Sasaran promosi pertamanya adalah Esther, kemudian Irma, dan kemudian dua orang ini menjadi seperti aktivis MLM yang haus downline. Dan cerita bermuara pada happy-ending, walau ini bukan bagian dari cerita film Hollywood.

(Her Suharyanto, her@jurutulis.com)


... baca selengkapnya di : http://goo.gl/4CJcIZ

Mengalir Seperti Air
Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, "Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati." Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."
"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu bernama, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan."

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.

Usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita. "Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku." kata sang Guru.

"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup." Pria itu menolak tawaran sang Guru. "Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" "Ya, memang saya sudah bosan hidup."

"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisasnya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang."
... baca selengkapnya di : http://goo.gl/l0bqcS
Mutiara Hati
Awan masih diselimuti embun dan udara yang masih menyejukkan badan. Ketika orang-orang masih terlelap tidur dan azan subuh pun berkumandang, aku merasakan kepedihan batin ketika ku lihat ibu yang sudah bangun terlebih dahulu daripada aku. Ia yang seharusnya masih beristirahat di tempat tidur kini sudah harus mempersiapkan segera peralatan untuk membuat kue yang akan ku jajakan nanti. Ingin rasanya aku yang mengerjakannya tetapi, pasti ibu tidak mengizinkannya. Hanya menjajakan kue lah yang bisa kubantu pada saat matahari belum terbit.

Ayam berkokok menunjukkan saat aku harus menjajakan kue buatan ibu yang masih panas. Udara yang begitu sejuk membuat aku bersemangat untuk menjajakan kue buatan ibu. Saat-saat suasana ini lah yang aku suka ketika menjajakan kue yaitu, udara yang begitu segar serta alam-alam yang turut merasakan kebahagiaan dan bertasbih menyebut nama-Nya. Seakan-akan diri ini tidak ingin beranjak dari suasana seperti ini. Aku merasa diri ini sangat beruntung sekali

... baca selengkapnya di : http://goo.gl/LISM29

Share this

Tag : , ,

0 Comment to "EXPERIENTIAL MARKETING TUKANG OJEK"

Post a Comment