Tuesday 9 December 2014

Jangan Pernah Menyerah


?Aku hanya manusia biasa.. karena aku tidak mampu mengerjakan semuanya, maka aku tidak akan menolak mengerjakan apa yang mampu aku lakukan.. ?

(Albert Everett Hale)

Aku adalah seorang perawat yang khusus merawat penderita stroke. Ada dua karakter khas yang aku temui dari penderita stroke, mereka sangat ingin hidup ? atau justru ingin segera mati. Salah satu pasien yang cukup berarti bagiku ialah Albert.

Saat berkeliling melakukan pemeriksaan di rumah sakit, aku melihat Albert, dalam posisi meringkuk dalam posisi seperti janin dalam kandungan. Ia seorang pria setengah baya. Tubuhnya ditutupi selimut ? dan kepalanya hampir tidak kelihatan di balik selimutnya. Ia tidak bereaksi saat aku memperkenalkan diri.

Di ruang jaga perawat aku mendapatkan informasi bahwa umur Albert tidak panjang lagi. Ia hidup sendirian, istrinya telah meninggal, dan anak-anaknya entah berada dimana. Mungkin aku dapat menolongnya. Meskipun aku seorang janda, tubuhku bagus dan wajahku masih cantik. Aku jarang bergaul dengan pria di luar rumah sakit. Anggap saja terapi ini adalah sebuah petualangan bagiku.

Keesokan harinya, aku mengenakan pakaian putih ? tetapi bukan seragam perawat seperti biasanya. Aku masuk ke kamar Albert. Albert langsung membentak, menyuruhku keluar. Tetapi aku justru duduk di kursi di dekat tempat tidurnya. Aku berusaha memberinya senyuman sesempurna mungkin.

?Tinggalkan aku ! Aku ingin mati !? seru Albert.

?Apa tidak salah ? di luar banyak wanita cantik menunggumu.? sahutku.

Ia tampak tersinggung. Tetapi aku terus berbicara panjang lebar tentang betapa senangnya aku bekerja di rumah sakit khusus rehabilitasi stroke ini. Aku menceritakan betapa bangganya aku saat dapat mendorong seseorang untuk mencapai potensi maksimum mereka. Aku juga mengatakan, bahwa ini adalah tempat yang penuh kemungkinan. Ia tidak menyahut sepatah kata pun.

Dua hari kemudian aku mendapatkan kabar dari teman perawat bahwa Albert menanyakan kapan aku bertugas di kamarnya lagi. Kawan-kawan mulai mengedarkan gosip bahwa ia adalah ?pacar?-ku. Aku tidak membantah gosip itu, bahkan aku selalu berseru kepada orang lain untuk jangan mengganggu ?Albert?-ku saat keluar dari kamar Albert. Hal ini memang sengaja kulakukan agar Albert mendengarnya.

Satu minggu kemudian Albert mau belajar duduk dan melatih keseimbangan. Ia juga bersedia mengikuti latihan fisioterapi asalkan aku mau datang lagi untuk mengobrol. Dua bulan kemudian, Albert sudah mampu menggunakan sepasang alat bantu berjalan. Dan pada bulan ke-3, ia sudah meningkat ke penggunaan sebatang tongkat penyangga.

Pada hari ketika Albert diijinkan pulang, kami merayakannya dengan sebuah pesta. Aku mengajaknya berdansa. Ia memang bukan pria yang romantis, tapi ia mampu untuk berdansa dengan baik. Aku tak dapat menahan air mataku saat berpisah dengannya.

Beberapa waktu setelah perpisahan itu, secara berkala aku selalu mendapatkan kiriman bunga dari Albert. Dan kadangkala disertai dengan sekantung kacang. Ia mulai berkebun lagi seperti dulu.

Beberapa tahun kemudian, pada suatu siang, seorang wanita cantik datang ke rumah sakit. Ia meminta untuk bertemu dengan ?si penggoda?. Waktu itu aku sedang memandikan seorang pasien.

?Oh, jadi itu Anda ?? Wanita itu bertanya. Ia mengatakan bahwa Albert adalah seorang pria sejati. Ia juga menceritakan bagaimana Albert telah menjadi seorang motivator yang sangat terkenal di kota tempat tinggalnya.

Senyum wanita itu mengembang ketika ia memberiku sebuah undangan untuk datang ke pesta pernikahan mereka.

... baca selengkapnya di : http://goo.gl/y82kEt
 
 
BELAJAR MENANGGUNG RISIKO KEHIDUPAN DARI ANAK KECIL
16 November 2006 – 10:52   (Diposting oleh: Editor)

“Remember that great love and great achievements involve great risk. – Ingat! Cinta yang besar dan prestasi tinggi melibatkan resiko yang besar pula.” ~ Anonim

Risiko memiliki komponen ketidakpastian. Seumpama seseorang meloncat dari gedung berlantai 21 dan mengenakan parasut di punggungnya, ia tidak punya kepastian apakah nantinya parasut itu terbentang dengan baik ataukah tidak. Jika parasut itu gagal di kembangkan, dia berisiko terluka atau meninggal. Tetapi jika ia terjun tanpa parasut, jelaslah ia pasti meninggal dan berarti ia sama sekali tidak menghadapi risiko. Karena risiko itu ditandai dengan berbagai kemungkinan atau ketidakpastian.

Risiko juga bersifat perorangan. Kalaupun misalnya terjadi luberan lumpur panas seperti yang terjadi di Porong – Jawa Timur itu pasti tak hanya dihadapi perusahaan pengebor gas bumi. Tetapi risiko luberan lumpur panas tersebut juga menimpa semua komponen, diantarnya para pemegang saham, kreditur, dewan direksi, pegawai, terlebih penduduk sekitar yang harus mengungsi meninggalkan rumah dan harta benda karena terendam lumpur panas, dan lain sebagainya.

Kita menghadapi risiko setiap hari entah pada saat kita menyeberang jalan, makan, sekolah atau mengejar angkutan kota untuk berangkat kerja atau bahkan pada saat tidur. Beberapa sikap hati-hati sekalipun juga mengandung risiko. Contoh kita mencuci buah-buahan dan sayuran dengan larutan khusus supaya terhindar dari dampak penggunaan pestisida yang melekat pada buah-buahan dan sayuran. Tetapi ternyata langkah tersebut juga memiliki konsekuensi negatif yaitu berkurangnya vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya.

Dengan kata lain, risiko menguasai berbagai area dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan profesional dimanapun kita berada. Kendati demikian, jangan sampai kita berkeinginan untuk tidak menghadapi risiko, karena hal itu sangatlah tidak produktif. Segala risiko tak harus mengganggu kelangsungan aktifitas kita sehari-hari ataupun upaya kita untuk menjadi lebih baik.

... baca selengkapnya di : http://goo.gl/jcBQAT
 
 Mesin Pemahat Mimpi
“Sial!” Danu mendesis kesal. Ia membungkukkan badannya sampai sembilan puluh derajat, dengan napas yang belum stabil. Keringat mulai membasahi tempatnya berpijak. Bagai gutasi di ujung daun, peluh itu turun satu-satu dari rambutnya yang meruncing karna basah. Terik matahari membakar lintasan lari yang berwarna kemerahan.

“Latihan lagi ya Dan. Kalau di dalam sekolah saja kalah dengan Topan, apa kabar di tingkat Provinsi minggu depan? Ini baru simulasi tingkat kota Dan. Di tempat kedua saja tidak cukup. Rekor larimu masih kalah jauh dengan Topan.” Seorang laki-laki paruh baya menepuk punggung Danu. Danu lantas berdiri dengan tegak, menghadap laki-laki itu. Namanya Setya dia pelatih tim atletik di SMA. “Kita beruntung, sekolah kita punya dua kandidat yang lolos. Memang lebih beruntung lagi kalau kita dapat dua tempat di podium juara. Tapi, lakukan saja sebisamu.” Kata Setya lalu beranjak menuju Topan. Mereka saling berpelukan. Ish berasa sudah menang?! Percaya diri sekali. Pikir Danu kesal.
Danu melangkah gontai menyambar tasnya yang tergeletak di pinggiran lintasan, Ia bergegas pulang. “Dan!” Tanpa menoleh Danu sudah tahu suara siapa itu. “Apa?” Jawabnya malas. Topan menghampirinya dengan senyum lebar. “Bagaimana simulasi kali ini?”, “Biasa saja.” Danu melanjutkan perjalanan. Topan berjalan mengimbangi.

“Tadi ada wartawan Majalah Remaja, katanya mereka akan mewawancarai pemenang lomba lari 800 meter minggu depan. Haha aneh ya belum lomba tapi mereka sudah menemuiku. Aku jadi tidak enak. Maksudnya apa ya?” Katanya santai. Tidak terdengar angkuh tapi kata-katanya seperti pemandu sorak yang sedang menyoraki kekalahan Danu.
“Mungkin mereka takut kau mati sebelum tanding.” Kata Danu ketus. Topan memperlambat langkahnya. Lalu kembali mengimbangi Danu. “Hey hey jangan ketus begitu. Mungkin mereka masih punya rubrik yang kosong, seperti ‘Sebuah Kekalahan’ atau ‘Depresi Remaja’. Dan kau bisa jadi narasumbernya.” Kata Topan meledek. Kali ini Danu yang berhenti melangkah. Lalu menatap Topan. “Aku lebih suka mengisi harian kriminal, dengan headline tebal bertuliskan ‘Mutilasi Rival Mulut Ember’. Bahkan aku tidak keberatan wajahku tidak diblur sebagai cover.” Kata Danu dingin. Topan diam tak berkutik. Kata-kata Danu cukup mengerikan.

“Hey, jangan sombong begitu. Selamat kalah ya minggu depan!” Topan berteriak mengiringi Danu yang semakin menjauh. Danu hanya menggerutu, tidak menyahut lagi.
 
 “Brak.” Suara pintu dibanting. Karin tengah duduk di ruang keluarga sambil menonton drama di TV dengan suara pelan. Karin hendak melihat siapa yang akan lewat. Sejujurnya ia sudah bisa mencium bau adiknya dari sini. Karin memeluk kaleng kue dan mengambil satu buah kue dari dalamnya.
Danu grasak-grusuk masuk ke ruang keluarga lalu membanting badannya di sofa, tepat di sebelah Karin. Kemudian ia merampas kaleng kue dari Karin. Mengobok-obok isinya dan memakannya rakus, meskipun terlihat kesal. Ia meletakkan kaleng itu di meja kaca dengan kasar.Karin memelototi adiknya. Kalau sudah begini, berarti adiknya sudah ngamuk sekali. Karin memberanikan diri untuk bertanya. “Kalah lagi?”
 
 ... baca selengkapnya di : http://goo.gl/iTi44L

Share this

Tag : , ,

0 Comment to "Jangan Pernah Menyerah"

Post a Comment