Saturday, 25 July 2015

Hachiko

Hachiko adalah seekor anjing yang lahir di sekitar bulan November 1923 di Odate, Jepang. Ia pindah ke Tokyo, saat majikannya pindah ke sana.

Pemilik anjing itu bernama Eisaburo Ueno. Eisaburo adalah seorang tua yang tinggal sendirian di rumahnya, istrinya sudah meninggal dan anak-anaknya sudah menikah dan tidak tinggal di situ lagi. Eisaburo Ueno bekerja di sebuah universitas di dekat Tokyo sebagai seorang profesor.

Sudah sebuah kebiasaan bagi orang tua itu untuk menaiki kereta listrik di Stasiun Shibuya untuk bekerja. Ia berangkat sekitar jam 8 pagi, dan biasanya ia pulang dan tiba di stasiun itu kembali sekitar jam 5 sore.

Hachiko, si anjing itu, sangat setia menemani tuannya. Setiap pagi ia berjalan bersama tuannya menuju ke Stasiun Shibuya. Setelah ‘melepas kepergian’ tuannya, anjing itu pulang sendiri ke rumah. Dan uniknya tepat sebelum jam 5 sore, anjing itu sudah datang kembali ke stasiun untuk menjemput tuannya.

Kebiasaan ini dilakukannya setiap hari selama beberapa tahun, dan orang-orang di sekitar situ sudah mulai hapal dengan tingkah anjing (dan pemiliknya) itu. Para petugas stasiun pun selalu tersenyum ramah saat melihat anjing itu berlari-lari kecil menjemput tuannya setiap sore.

Tapi malang, pada suatu siang, Eisaburo mendapatkan serangan jantung di universitas tempatnya bekerja. Ia meninggal sebelum mendapatkan perawatan medis dari rumah sakit. Segenap keluarganya langsung dihubungi oleh pihak universitas untuk menjemput jenazah Eisaburo.

Lalu bagaimana dengan anjing itu ? Ternyata, pada sore harinya anjing itu tetap datang ke stasiun untuk menjemput tuannya, tapi hingga larut malam ia menunggu, ternyata tuannya tidak datang. Anjing itu pulang kembali ke rumah.

Besok sorenya, anjing itu kembali datang ke Stasiun - dan sekali lagi - ia pulang dengan ‘tangan hampa’. Kebiasaan ini ia lakukan setiap hari. Para petugas stasiun dan orang-orang di situ sangat bersimpati dan kadangkala memberinya makan saat ‘menjemput tuannya’.

Beberapa kerabat Eisaburo pun sebenarnya sudah berusaha untuk memelihara dan merawat anjing itu, tetapi tetap saja - setiap sore anjing itu nekat berlari menuju ke stasiun Shibuya.

Tak terasa 11 tahun sudah berlalu, dan anjing itu tetap melakukan aktivitas hariannya menunggu tuannya di stasiun tiap sore - hingga larut malam, bahkan kadang baru pulang besok paginya setelah pulas tertidur di stasiun.

Setelah berumur 15 tahun, anjing itu akhirnya meninggal dunia dalam kesetiaannya, tepat di tempat dimana ia biasa menunggu tuannya.

Untuk memuji dan menghargai kesetiaan anjing itu, orang-orang membangun sebuah patung Hachiko di Stasiun Shibuya. Patung anjing itu masih berdiri kokoh hingga saat ini, sebagai sebuah inspirasi kesetiaan bagi orang-orang yang melewatinya.

http://goo.gl/Rwuido


Kotak Cinta Untuk Ibu
Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter
With me everything is ok
Mother, how are you today?
Mother, don’t worry, I’m fine
Promise to see you this summer
This time there will be no delay
Mother, how are you today?

***

Hari-hariku di kampus di penuhi dengan kegiatan di orgamawa. Ditambah dengan jadwalku memberi les. Semua terasa berat, ingin rasanya aku memiliki satu hari yang khusus dihadiahkan untukku. Agar aku bisa beristirahat. Sedikit menghirup udara segar dan terbebas dari rutinitas dunia kampus. Aku adalah mahasiswi kos di dekat kampus. Rumahku yang jauh membuatku selalu rindu dengan kedua orang tuaku. Terutama ibu. Kini, aku belajar mengatur rumah kecil, dapur dan keuanganku.

Otak seperti dikuras habis untuk memikirkan kuliyah, organisasi, les, kebutuhan, tugas dan seabrek catatan-catatan hidupku yang harus aku pikirkan. Seolah-olah, otak ini sudah mendidih. Layaknya satan kelapa, yang masih saja dipaksa diambil santannya. Seperti aku yang selalu memaksa otakku untuk terus berpikir dan berpikir. Bagaimana hidupku terus berjalan dan maju ke depan.

Rasa capek dan bosan sering membuat sikap malas menghinggapiku. Tapi, aku selalu mencoba menepisnya. Aku tak ingin perjuangan orang tuaku di desa dengan bekerja keras sia-sia hanya karena sikap malasku. Aku ingin kuliah dengan benar, dan sungguh-sungguh. Aku tak ingin mengecewakan mereka.

Aku lantas beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Aku sambar handuk diatas kasur, dan dengan menarik napas dalam-dalam aku berkata. “Aku harus semangat..! Kamu tidak boleh malas, Nay.” Kataku sendiri mencoba untuk menyemangati.

Aku buka buku yang terlihat besar dan lebih lebar dari bukuku yang lain. Aku mencoba melihat pekerjaanku kemarin. “Huft…, apanya yang salah, ya?!” Tanyaku yang bingung sekali. Beginilah pekerjaanku sebelum hari rabu tiba. Mengerjakan tugasku akuntansi. Karena aku mengambil prodi akuntansi, mau tidak mau aku harus bergelut dengan angka-ngka yang aku sendiri tak tahu. Berapa jumlah uang sebenarnya.

Aku terkadang berfikir, bagaimana jika pekerjaan akuntansi yang aku kerjakan ini benar-benar ada uangnya. Niscaya aku akan bingung bukan kepalang. Menghitung perhitungannya saja aku terkadang kebingungan. Belum lagi saldo yang tidak balance. Apalagi ditambah menghitung uangnya. Pasti aku akan kebingungan.

Meskipun begitu, Akuntansi adalah mata pelajaran yang aku sukai ketika aku masih di SMK. Oleh karena itu, aku ingin melanjutkan pengetahuanku mengenai akuntansi di jenjang perguruan tinggi ini. Aku merasakan kesenangan tersendiri dengan kumpulan angka-angka yang menarik itu. Perhitungannya jelas. Rumus-rumusnya juga jelas. Misalnya, saat kita membeli suatu mesin. Tenti saja, kalau kita ingin membeli sesuatu barang, maka uang kita akan berkurang (Termasuk asset lancar yaitu kas). Dan kita akan mempunyai mesin baru yang biasa di sebet asset (Asset yang bertambah yaitu asset tetap, mesin).

Mudah sekali mempelajari akuntansi. Saat kita mengerjakan, anggap saja perusahaan itu adalah milik kita. Dan saat mengerjakannya, anggap pula kita sedang mengerjakan laporan perusahaan kita sendiri. Dengan begitu, belajar akan lebih menyenangkan. Jika kamu mendapati ketidakseimbangan pada saldonya, lebih baik lanjutkan pekerjaannya esok hari. Sungguh, aku akan malas untuk melanjutkan pekerjaanku jika saldonya tidak balance. Bukan bermaksud menunda-nunda. Tapi aku ingin mengistirahatkan pikiran. Berharap, esok pikiranku akan segar kembali. Dan bisa meneliti pekerjaaanku.

Salah satu kelemahanku adalah, kurangnya ketelitian dan kecermatan dalam mengerjakannya. Meskipun aku memahami materinya, kecermatan sangat penting dalam mengerjakannya. Mataku pun sudah mulai membengkak karena kelelahan aku ajak begadang. “Lebih baik, aku selesaikan besok malam saja.” Kataku sambil menutup buku. Aku langsung membaringkan tubuhku di atas ranjang.

“Nay, saldonya berapa?” Tanya Rini. “Aku belum selesai, Rin.” Jawabku setelah menyedot es teh yang ada dalam gelas plastik. “Ngapain sih, rame-rame?” Tanya Nana. “Na, saldo soal akuntansinya Bu Priska berapa?” Tanya Rini. Ia adalah temanku yang kurang begitu paham dengan pelajaran akuntansi. Tapi aku salut dengan semangatnya. Ia selalu bertanya padaku, jika ia selesai mengerjakannya. Berusaha untuk mencocokkan, dan jika jawabannya berbeda dan salah. Ia akan segera membenahinya.

Pernah suatu kali, ia datang pagi-pagi ke kosku untuk mencocokkan pekerjaannya yang salah. Sekarang ia tampak kebingungan sekali. Yang ngerti akuntansi saja belum selesai mengerjakannya. Aku bisa melihar raut wajah kepanikan dari sikapnya. “Jangankan mengerjakannya, soalnya saja aku tidak tahu…,” Jawab Nana dengan santai dan terlihat tanpa beban. Tapi, mereka adalah teman-teman yang selalu memberiku semangat. Teman-teman yang selalu membuatku tersenyum. Mengobati kerinduanku terhadap ibu dan bapak.

Usai mengerjakan soal akuntansi, aku membereskan buku-buku di rak yang berantakan. Akupun memasukkannya ke dalam kardus agar rakku tidak penuh dengan buku. Tiba-tiba aku menemukan kotak berwarna cokelat. Aku ingat, ini adalah kotak kue yang dulu pernah aku berikan untuk ibuku. Tepat di hari ibu dan di hari ulang tahun ibuku. Aku langsung menuju kalender yang menempel di dinding kamarku. Mataku terus berjalan mencari bulan, kemudian mencari hari. Mataku pun kemudian berjalan menuju Kotak yang bertuliskan angka. Tampak angka 12. Kurang sepuluh hari adalah hari ibu dan tepat ulang tahu ibuku.

Aku kemudian duduk di atas kasur. Aku terus mengamati kotak kue dari kardus itu. Aku sengaja menghias kotak itu dengan kertas dan daun kering, agar terlihat cantik dan menarik. Seperti membuat herbarium, waktu aku masih SMP dulu. Tugas biologi mengeringkan daun atau mengawetkannya. Aku menata daun-daun kering itu dan menempelkannya pada kardus. Sangat cantik dan cukup mebuat ibuku tersenyum senang dan bahagia. “Ingin sekali aku melihat senyum dan kebahagiaan itu kembali dari raut wajahnnya.” Kataku yang mulai sedih terbawa suasanya.

Aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Tugasku memberi les dan kegiatan di organisasi cukup membuatku kualahan. Antara tanggungjawab dan kerinduan teramat dalam pada kampung halaman. ‘Aku ingin pulang, ibu.., bapak..,’ Teriakku tertahan. Aku peluk kotak itu erat-erat. Kotak cinta untuk ibu yang mungkin akan aku buat lagi di tahun ini. Kotak Cinta yang selalu aku buat khusus untuk ibuku. Di hari ibu dan dihari ulang tahunnya.

Malam minggu ini, langit begitu cerah. Ramai dengan bintang bertebaran di langit. Hamparan luas bintang terasa kurang lengkap tanpa hadirnya bulan. Seperti kehidupanku. Banyak teman disekelilingku, tapi kehadiran ibukulah yang paling berharga dalam hidupku. Membuat hidupku jauh lebih lengkap. Angin malam menerpa kulitku, terasa dingin hingga menusuk tulang. Seketika bulu-bulu di kaki dan tanganku langsung berdiri, meski berbalutkan jaket dan rok panjang. Aku lantas menarik resleting jaketku ke atas. Agar dinginnya angin malam tidak mengusikku.

Aku mulai berpikir untuk memberikan sesuatu yang berkesan di hati ibuku. Momen yang aku nanti-nantikan. Aku ingin memberikan kotak cinta itu untuk ibu. “Kira-kira, aku ingin mengisi kotak itu dengan apa, ya?” pikirku. “Nay, ngelamun apa, sih?” Tanya Rini. “Ah.., tidak, Rin. Aku tidak melamun, kok.” Jawabku. Dibilang kaget, aku jawabnya juga santai. Dibilang tidak kaget, masih mikir juga untuk menjawab pertanyaan Rini.

“Sabtu depan pulang, kan?” Tanya Rini. “InsyaAllah.., semoga di kampus tidak ada acara dan kegiatan. Aku ingin pulang, Rin. Aku kangen ibu dan bapak. Terutama Nila adikku. Sudah lama aku tidak pulang dan berkumpul mereka.” Kataku berbagi beban di pundak ini pada sahabatku. “Aku tahu, Nay. Kalau kamu mau, kamu pakai saja uangku dulu untuk pulang.” Rini menawarkan bantuan. “Tidak usah, Rin. Kamu kan juga butuh uang untuk pulang.” Aku berusaha menolaknya. “Tidak apa-apa, Nay. Aku sabtu depan ada acara di kampus. Jadi, aku tidak pulang.” Rini menjelaskan.

Aku pun terdiam sejenak untuk memikirkan tawaran Rini. Antara senang dan perasaan tidak enak pada Rini. Senang karena aku bisa pulang dan bertemu dengan ibu, bapak, dan Nila. Tapi, Rini sudah terlalu banyak menolongku. “Bagaimana, Nay?” Tanya Rini kembali, meminta kepastianku. “Iya, Rin.” Aku pun menerima bantuan itu. Karena aku ingin sekali bertemu dengan ibu.

Hari ini, aku pulang dengan hati yang berkecamuk perasaan sedih. Mukaku terlihat nanar, dan air mata sudah mengumpul di ujung mata. Aku tak bisa pulang sabtu depan. Ada kegiatan organisasi yang harus aku selesaikan. Penggalangan dana untuk saudara-saudara yang sedang tertimpa masalah di Gaza, akan diadakan sabtu depan. Dengan perasaan sedih, aku harus mengikhlaskan.

Aku sebagai penanggung jawab, tidak mungkin lari begitu saja. Dimana integritasku jika aku pergi meninggalkan tanggungjawab itu? Dimana, Nay. Aku mengambil kotak cinta itu. “Ibu, Selimut ini tidak akan datang di hari ulang tahun ibu.” Aku memandangi kotak yang berisikan selimut berwarna biru. Aku ingin ia menemani malam-malamnya. Aku ingin kehangatan melindungi tubuhnya. Aku ingin selalu ada di dalam mimpi-mimpinya.

Aku tutup kembali kotak itu, dan kusimpan kembali dalam lemari. “Apa itu, Nay?” Tanya Rini, heran terhadap kotak itu. “Ini hadiah ulang tahun ibuku” Jawabku dengan nada parau. “Aku tahu, kamu tidak bisa pulang sabtu depan. Kamu sabar, ya..!” Rini menepuk bahuku. “Iya..” Jawabku dengan senyum yang sedikit aku paksakan.

Usai melakukan penggalangan dana, aku langsung pulang. Dari pagi, aku dan teman-teman sudah terjun di jalannan. Membagi-bagikan bendera dan brosur, di tengah terik matahari yang cukup panas. Kepalaku pusing, akibat terlalu lama berada di bawah terik matahari. Kakiku terasa sakit dan memerah. Kakiku juga melepuh dan berair. Karena tadi siang aku lupa memakai kaos kaki. Aku langsung membaringkan tubuhku di atas ranjang.

Aku merasakan timangan kasur nan empuk di kamarku. Perlahan-lahan, diriku dibawa terbang ke awan. Menyusuri pulau nan indah bersama ibuku. Kami sekeluarga terlihat gembira dan begitu menikmati. Aku melihat senyum yang begitu natural, senyum yang terpancar dari hati. Sesuatu yang ibu ekspresikan dengan tulus. Aku begitu senang melihat ibu bahagia. “Buatlah ibu bangga, Nay. Jangan biarkan orang lain merendahkan dan meremehkan kita. Aku yakin kamu pasti bisa membuat ibu tetawa dan bahagia lebih dari hari ini.” Kata ibu memegang telapak tanganku. Tangannya begitu hangat.

Aku hanya memandang senyum yang masih merekah dari kedua bibir ibuku. Tatapanku penuh tanya, dan otakku terus berpikir. Bukankah aku melihat tawa yang begitu lepas. Tapi ibu menginginkan kebahagian yang lebih dari hari ini. ‘Aku memang belum bisa membahagiakanmu, Bu. Engkau selalu berbohong dibalik senyummu. Seolah-olah, engkau sudah merasa bahagia dengan apa yang ada. Tapi, kebohongan yang engkau sembunyikan terlihat nyata. Engkau selalu merasa gembira, untuk menyembunyikan kesedihan. Engkau merasa sehat dengan menyembunyikan sakitmu. Aku ingin engkau bahagia, lebih dari hari ini, hari esok, dan hari esoknya lagi.’ Kata hatiku.

Aku akan membahagiakanmu selamanya, bu. Ingin sekali senyum itu nyata dari hatimu, tanpa ada yang engkau sembunyikan. Perlahan-lahan genggaman ibu merosot dari genggamanku. Aku merasa kebingungan, dan mencoba menahannya. Tapi, ujung jariku sudah menyentuk kukunya. Dan tiba-tiba tangan ini sudah tak menggenggam tangannya lagi. “Ibu….,!” Teriakku terkejut. Aku mencoba mengatur nafas dan mencoba memasuki duniaku yang sebenarnya. Lelah dan kerinduan telah mengantarkanku pada mimpi bertemu dengan ibu. Dan kotak itu secara tiba-tiba melintas di dalam pikiranku dan hinggap di sana.

Hari ini, bulan terlihat diantara bintang-bintang. “Andaikan aku ada disamping ibu, aku akan sangat bahagia.” Kataku sambil memandangi langit. Aku buka kotak yang ada di pangkuanku. Ternyata, selimut ini tak bisa menghangatkan malamnya hari ini. Hari ulang tahunnya, dan hari ibu. Bagiku, hari ibu ada di setiap hari dalam hidupku. Seperti hari-hari yang selalu ada do’a untuku, anaknya.

Aku menarik selembar kertas dari bukuku. Tanganku dengan lincah menari-nari di atas kertas itu, merangkai kata-kata. Padahal aku bukan seorang pujangga. Tak perlu menjadi seorang pujangngga. Hanya karena cinta, kata-kata indah akan tercipta dengan sendirinya. Meskipun kata-kata cinta untuk ibu tidak seindah kata-kata cinta kahlil gibran, dan tak seindah syair-syair Chairil anwar. Aku yakin, ibu bisa merasakan betapa aku sangat mencintainya.

“Aku berjanji, Bu. Meski ibu mengucapkannya dalam mimpi. Aku yakin, itu adalah apa yang selama ini ibu harapkan. Apa yang selama ini ibu tunggu-tunggu. Aku akan membuat ibu bahagia. Lebih dari hari ini dan hari selanjutnya. Selimut ini akan menghangatkan malam-malam ibu. Jika Nayla pulang nanti, bawalah ia untuk menemani tidurmu, Bu. Hanya ini yang bisa Nayla berikan. Tak sebanding dengan kehangatan cinta ibu yang selalu menghangatkanku.” Aku menitikkan air mata, dan jatuh dalam kotak itu.

Air mataku semakin mengalir deras. Mengingat perjuangan, kasih sayang dan cintanya selama ini. Sekelebat kenanga-kenangan bersama ibu secara bergantian melintas di hadapanku. Seperti diputarnya film yang dipertontonkan untukku. Tapi sayang, air mata yang menetes banyak di dalam kotak tak akan meninggalkan bekas. Andaikan ia bisa berubah menjadi kristal putih nan cantik, pancarkan keindahan seperti kasih sayangnya selama ini. Aku akan menyertakannya di dalam kotak itu dan menghadiahkannya untuk ibu.

Tapi, air mataku tak bisa kusulap menjadi butiran kristal. Hanya ada selimut berwarna biru di dalam kotak. Kotak cinta yang akan aku persembahkan untuk ibuku saat aku pulang nanti. Hanya itu yang bisa aku berikan. Uang dari honor menulis cerpenku. Cerpen yang baru pertama kali diterima oleh redaksi. Untukmu,Bu.., untukmu.

“Tunggulah sampai anakmu pulang, Bu. Nayla di sini baik-baik saja. Semoga ibu dapat tersenyum untuk selamanya. Nayla berjanji, Bu.” Aku menghapus air mataku. Aku harus semangat, semangat!

Aku menutup kotak itu dan kubawa kedalam kamar. Aku memasukkannya dalam lemari. “Tinggallah di sini sementara, kotakku. Sebentar lagi engkau akan bertemu dengan ibu. Aku tahu, engkau pasti tidak sabar bertemu dengan ibu.” Aku kemudian mengambil hp yang ada di tasku, hp lama pemberian dari keponakan ibu. Tak apalah, dengan hp ini aku bisa mendengarkan lagu ‘Mother How Are You Today’. Setidaknya, lagu ini bisa menjadi penenang jiwaku. Lagu yang ingin aku sampaikan pada ibu. “Tunggu aku pulang, Bu. Aku sangat mencintaimu” Kataku dengan tersenyum di balik kerinduan yang teramat dalam.

http://goo.gl/Ag1L6i

Share this

Tag : , ,

0 Comment to "Hachiko"

Post a Comment