Dua lelaki berpakaian coklat tua mengapit lelaki separuh baya menuju kamar tidur berkuota 5 orang tetapi sesak di jejali penghuni tiga kali lebih banyak dari kapasitas standar sebenarnya, saat salah satu dari lelaki berseragam membuka grendel-grendel pengaman yang mengamankan penghuni kamar, kepala lelaki setengah baya itu tegak, menoleh ke arah ruangan di sudut deret bangunan tempat aku berdiri, tersenyum lalu menganggukkan kepala kepadaku sebelum menghilang di balik jeruji.
Segurat senyum menghiasi sudut wajahku membalas senyuman dari lelaki itu, tapi aku tahu dia tidak melihatnya, karena serombongan lelaki berpakaian coklat melintas di antara jangkauan pandang kami memecah situasi melodrama yang bila di telenovela korea biasanya dapat jatah scene 10 detikan lebih karena di slow motion dan sudut pengambilan sudut gambar bisa lebih dari 8 titik. Karena moment itu sungguh berkesan, bermakna dan sarat penafsiran.
“Ayah, aku bangga padamu.” Hanya kata itu yang mampu menggumam di bibirku mewakili gejolak yang muncul sporadis.
Aku membalikkan badan, karena sosok yang tadi tersenyum dan tak lain adalah ayahku sendiri tersebut sudah tidak terlihat karena blok tahanan tertutup gelapnya bayangan dinding tinggi lembaga permasyarakatan. Aku berjalan keluar, mengarah ke gerbang besar pembatas bui dengan dunia luar, dunia kita, dunia kebebasan.
Segerombolan pewarta menyambutku, beberapa ku kenal baik, beberapa lagi baru pertama ku lihat termasuk 3 lelaki yang membawa kamera plus microphone berlabel televisi.
“Apa langkah keluarga besar anda menyikapi pengakuan mengejutkan di persidangan tadi..?”
serbuan pertanyaan di mulai..
“apakah ada bocoran mengenai siapa saja yang terlibat?”
“Bagaimana bila massa pendukung dari orang-orang yang di sebutkan namanya itu tidak terima..?”
“Seandainya..”
“Apabila…”
“…”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum dan terus berjalan menerobos kerumunan yang haus informasi itu menuju vespa tua satu-satunya sisa dari kekayaan orang tuaku yang tidak ikut di sita KPK, entah karena mereka menilai secara taksiran vespa uzur ini tidak layak dan tidak punya nilai jual atau mereka tahu sejarah keberadaan vespa itu yang di era awal reformasi mengawal sepak terjang aktivis terkenal yang kini tersandung.
***
Aku masih ingat sekali, saat ayah menghilang selama 2 minggu sebelum presiden yang ku anggap tidak akan pernah terganti itu lengser, aku masih es-em-pe saat itu. Dua hari setelah gedung kura-kura raksasa hijau di senayan sepi dan lepas dari pendudukan pemuda dan mahasiswa ayah kembali. Kepalanya berbalut perban dan wajahnya terlihat lelah dengan memar di sana-sini. Aku berlari memeluknya saat sosok lusuh itu muncul di depan pintu rumah.
“Ayah tidak apa-apa?” serbuku di sela tangis
Dia tersenyum dan berkata “Jangan cengeng.. inilah resiko dari perjuangan, ayah mau makan dan bersih-bersih dulu, tolong panas-kan vespa ayah, masih banyak yang harus ayah kerjakan.”
Ayah melepaskan pelukannya sembari melanjutkan,
“kalau om Subur datang, suruh tunggu dan suruh ibumu buatkan kopi.” Ayah langsung berlalu ke ruang dalam di sambut histeris dan ledakan tangis ibu. Aku termangu di tempat ku berdiri merasakan sensasi haru sekaligus bangga yang begitu berbeda.
Vespa ini intim mengawal ayah, di awal-awal sepak terjangnya di dunia kami yang baru. Vespa ini kemana-mana membawa pesan-pesan pergerakan dan niat mulia membenahi republik ini. Ayah dan vespanya adalah legenda sebuah perjuangan politik mazhab reformasi yang kemudian bertransformasi menjadi kenyataan sekarang ini.
Selain vespa, ada satu sosok lagi yang ikut berperan, sosok itu adalah om Subur, lelaki yang biasa ku buatkan kopi kental, sosok ambisius dan guru politik serta starter pergerakan di mana ayah menjadi salah satu pilar.
“akan jalan di tempat dan bahkan berhenti di sini bila agenda ini tidak dilanjutkan, kawan-kawan di Jakarta berencana masuk ke parlemen, berada di luar sistem tidak banyak kontribusi positifnya bagi perubahan yang kita perjuangkan, berakhirnya orde baru hanya awal, pemilu di depan mata, orang-orang pergerakan harus masuk ke sistem agar maksimal.” Sayup-sayup suara bersemangat om Subur menyentuh gendang telingaku yang sedang belajar di kamar tidur, beberapa bulan setelah itu
Aku menghentikan aktifitas dan ikut mendengarkan diam-diam obrolan om Subur, Ayah, dan beberapa temannya di ruang tamu.
“Drafnya sudah siap, orang-orang kita pun sudah setuju kita bergabung ke partai ini, pembentukan DPD tinggal menunggu hari, kamu di butuhkan di sini.” Seorang lagi bersuara.
“Sebagai apa? Dan seberapa efektif peran saya di dalam?” Ayah bersuara
“Sebagai Ketua, kami teman-teman mahasiswa mendukung, karena itu kami ke sini.”
“Tidak adakah jalan lain selain masuk ke sistem?” ayah bertanya ragu
“Inilah kesempatan kita untuk berbuat, bukan hanya sebagai penyuara dan pengkritik sistem dan koar-koar di media dan di setiap aksi, berharap ini itu, tapi relevansinya apa? suara kita di tampung saja, tidak ada perubahan, sistem dan birokrasi mengganjal setiap keputusan. Kita akan semakin tua kawan, kita tidak bisa bergerak dari satu aksi ke aksi, tindakan nyata harus di ambil, dari pada kita yang meminta keputusan lebik baik kita yang membuat keputusan. Dan sarana menuju ke sana telah siap dan matang.”
Segurat senyum menghiasi sudut wajahku membalas senyuman dari lelaki itu, tapi aku tahu dia tidak melihatnya, karena serombongan lelaki berpakaian coklat melintas di antara jangkauan pandang kami memecah situasi melodrama yang bila di telenovela korea biasanya dapat jatah scene 10 detikan lebih karena di slow motion dan sudut pengambilan sudut gambar bisa lebih dari 8 titik. Karena moment itu sungguh berkesan, bermakna dan sarat penafsiran.
“Ayah, aku bangga padamu.” Hanya kata itu yang mampu menggumam di bibirku mewakili gejolak yang muncul sporadis.
Aku membalikkan badan, karena sosok yang tadi tersenyum dan tak lain adalah ayahku sendiri tersebut sudah tidak terlihat karena blok tahanan tertutup gelapnya bayangan dinding tinggi lembaga permasyarakatan. Aku berjalan keluar, mengarah ke gerbang besar pembatas bui dengan dunia luar, dunia kita, dunia kebebasan.
Segerombolan pewarta menyambutku, beberapa ku kenal baik, beberapa lagi baru pertama ku lihat termasuk 3 lelaki yang membawa kamera plus microphone berlabel televisi.
“Apa langkah keluarga besar anda menyikapi pengakuan mengejutkan di persidangan tadi..?”
serbuan pertanyaan di mulai..
“apakah ada bocoran mengenai siapa saja yang terlibat?”
“Bagaimana bila massa pendukung dari orang-orang yang di sebutkan namanya itu tidak terima..?”
“Seandainya..”
“Apabila…”
“…”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum dan terus berjalan menerobos kerumunan yang haus informasi itu menuju vespa tua satu-satunya sisa dari kekayaan orang tuaku yang tidak ikut di sita KPK, entah karena mereka menilai secara taksiran vespa uzur ini tidak layak dan tidak punya nilai jual atau mereka tahu sejarah keberadaan vespa itu yang di era awal reformasi mengawal sepak terjang aktivis terkenal yang kini tersandung.
***
Aku masih ingat sekali, saat ayah menghilang selama 2 minggu sebelum presiden yang ku anggap tidak akan pernah terganti itu lengser, aku masih es-em-pe saat itu. Dua hari setelah gedung kura-kura raksasa hijau di senayan sepi dan lepas dari pendudukan pemuda dan mahasiswa ayah kembali. Kepalanya berbalut perban dan wajahnya terlihat lelah dengan memar di sana-sini. Aku berlari memeluknya saat sosok lusuh itu muncul di depan pintu rumah.
“Ayah tidak apa-apa?” serbuku di sela tangis
Dia tersenyum dan berkata “Jangan cengeng.. inilah resiko dari perjuangan, ayah mau makan dan bersih-bersih dulu, tolong panas-kan vespa ayah, masih banyak yang harus ayah kerjakan.”
Ayah melepaskan pelukannya sembari melanjutkan,
“kalau om Subur datang, suruh tunggu dan suruh ibumu buatkan kopi.” Ayah langsung berlalu ke ruang dalam di sambut histeris dan ledakan tangis ibu. Aku termangu di tempat ku berdiri merasakan sensasi haru sekaligus bangga yang begitu berbeda.
Vespa ini intim mengawal ayah, di awal-awal sepak terjangnya di dunia kami yang baru. Vespa ini kemana-mana membawa pesan-pesan pergerakan dan niat mulia membenahi republik ini. Ayah dan vespanya adalah legenda sebuah perjuangan politik mazhab reformasi yang kemudian bertransformasi menjadi kenyataan sekarang ini.
Selain vespa, ada satu sosok lagi yang ikut berperan, sosok itu adalah om Subur, lelaki yang biasa ku buatkan kopi kental, sosok ambisius dan guru politik serta starter pergerakan di mana ayah menjadi salah satu pilar.
“akan jalan di tempat dan bahkan berhenti di sini bila agenda ini tidak dilanjutkan, kawan-kawan di Jakarta berencana masuk ke parlemen, berada di luar sistem tidak banyak kontribusi positifnya bagi perubahan yang kita perjuangkan, berakhirnya orde baru hanya awal, pemilu di depan mata, orang-orang pergerakan harus masuk ke sistem agar maksimal.” Sayup-sayup suara bersemangat om Subur menyentuh gendang telingaku yang sedang belajar di kamar tidur, beberapa bulan setelah itu
Aku menghentikan aktifitas dan ikut mendengarkan diam-diam obrolan om Subur, Ayah, dan beberapa temannya di ruang tamu.
“Drafnya sudah siap, orang-orang kita pun sudah setuju kita bergabung ke partai ini, pembentukan DPD tinggal menunggu hari, kamu di butuhkan di sini.” Seorang lagi bersuara.
“Sebagai apa? Dan seberapa efektif peran saya di dalam?” Ayah bersuara
“Sebagai Ketua, kami teman-teman mahasiswa mendukung, karena itu kami ke sini.”
“Tidak adakah jalan lain selain masuk ke sistem?” ayah bertanya ragu
“Inilah kesempatan kita untuk berbuat, bukan hanya sebagai penyuara dan pengkritik sistem dan koar-koar di media dan di setiap aksi, berharap ini itu, tapi relevansinya apa? suara kita di tampung saja, tidak ada perubahan, sistem dan birokrasi mengganjal setiap keputusan. Kita akan semakin tua kawan, kita tidak bisa bergerak dari satu aksi ke aksi, tindakan nyata harus di ambil, dari pada kita yang meminta keputusan lebik baik kita yang membuat keputusan. Dan sarana menuju ke sana telah siap dan matang.”
Lama suasana hening, sebuah kalimat menghentikan diskusi
“Baik, beri saya waktu 2 hari utuk memikirkannya.”
Dan semuanya pun di mulai. Mendapatkan suara terbanyak di pemilu legislatif pertama era reformasi mengantarkan Ayah menduduki posis teratas di jajaran legislatif kota tempat ku di besarkan.
Om Subur tidak seberuntung ayahku, mandek di legislatif dia mengambil langkah startegis menembus eksekutif. Benturan hebat di lingkaran lama mendorong nya bersama beberapa kologa sejawat menerapkan kesempatan yang diberikan undang-undang otonomi dengan membentuk daerah tingkat dua baru. Kabupatenku ini. Ayahku juga terlibat dengan kapasitas dan kemampuan aksesnya di tingkat lobi dan pansus pemekaran.
Aku kembali ingat saat om Subur berkata di suatu malam.
“Satu-satunya jalan agar korupsi dan birokrasi njelimet di negeri ini musnah adalah menghentikan segala bentuk gratifikasi, termasuk pungutan saat masuk CPNS, nota fiktif, dan fee-fee proyek di cut off sejak awal, tradisi sehat itu mesti di mulai, dan itu harus bersumber dari pemegang kekuasaan. Pemimpin. Aku menginginkan posisi itu. Karena itu visiku. Kau, dukung aku di dewan.” Singkat padat jelas langsung menohok, serbu om Subur.
Aku tidak mendengar jawaban dari ayahku. Hanya desah nafas panjang tanpa iya dan tidak. Aku mengartikan itu adalah iya.
Dan dugaanku benar adanya, sepak terjang kedua partner itu semakin menggila. Dalam proses nya bukan hanya terjadi pergeseran prinsip dan pandangan, lebih jauh makin mengarah kepada Transkulturasi paradigma dalam pelaksanaannya, aku melihat ayah sedikit tidak nyaman dalam pelaksanaan karena sering terjadi friksi antara kebijakan dan pandangan, terutama bila dikaitkan dengan nurani.
“Inilah konsekwensi sebuah perang kawan, selalu ada korban. Seorang Mao Tze Dong mengorbankan ratusan ribu rakyat China lama untuk membentuk China baru, China yang sekarang, China yang gemilang. Kita tidak mesti mengorbankan sesuatu yang se-ekstrim itu, hanya sedikit mengesampingkan pandangan politik pribadi demi kepentingan yang lebih besar bijak dibutuhkan dalam masa transisi ini.”
“Tapi prinsip yang satu itu yang membawa kita hingga ke level ini, cita-cita pergerakan menghapus semua tradisi korupsi, kolusi dan nepotisme. KA-KA-EN, tiga huruf itulah yang menjadi akar dari gerakan reformasi, amanat itu masih menjadi acuan, bukan malah meleburkan diri”. Sanggah ayah.
“Dengan bertahan dengan prinsip itu, kita tidak akan pernah keluar dari kotak, apa yang dapat kita lakukan bila pemerintah pusat meng-anaktiri-kan kita, kabupaten kita. Tangga birokrasi hingga ke kementerian memaksa kita mengikuti tradisi ini. Bukan berarti kita sependapat, namun keluar dari jalur terlalu ekstrim akan melemparkan kita keluar dari jalan besar, kita sedang membangun daerah ini. Berikan apa yang semestinya masyarakat dapatkan, masyarakat butuh pembangunan di segala sektor, dan itu butuh biaya besar, untuk sementara kita hanya bisa mengandalkan pos-pos anggaran dari pusat, bila tidak kita ambil, kita akan tertinggal. Idealis boleh-boleh saja, tapi jangan lupakan ada perut yang juga mesti di isi makanan, dan masyarakat kita juga berperut, dari petani, buruh, pegawai, semuanya berperut. Dan sejatinya perut merekalah yang kita fikirkan, kita perjuangkan.”
“Juga perut penyokong mu, kuperhatikan perutnya jauh lebih besar dari perut rakyat-rakyat jelata-mu”. Nada sindiran tergambar jelas dari suara ayah.
“Naif kau berkata begitu, jangan lupakan kuasanya lah yang menyelamatkan kau dahulu, hingga kau masih bernapas dan tidak tinggal nama seperti rekan-rekan kita yang lain”.
“Mereka berkorban untuk apa yang mereka perjuangkan, apa yang mereka dan kita yakini, ingin aku berada di antara salah satu dari mereka”. desis ayah
“Tidak cukup hanya dengan menjadi martir, era itu telah habis, buka matamu, perjuangan kita jauh lebih berat saat ini, itu faktanya, kita sudah coba dengan berada di luar, tidak banyak membantu, sekarang kita sudah berada di dalam, cobalah untuk beradaptasi dan kita selesaikan apa yang sudah kita mulai, setidaknya sampai periode berikutnya, minimal kita berdua tau makna dari balas budi”.
“atau, kosakata itu sudah tidak ada lagi di kamusmu?” lanjut om Subur
“balas budi?”
“ya, kecuali kau bukan laki-laki!”.
Ayah selalu terdiam dengan dasar-dasar logika sosial om Subur. Begitupun kali ini. Lebih lama dari biasanya sebelum akhirnya menjawab.
“Baiklah, kuikuti maumu. Sekali lagi setelah banyak kali yang kuikuti, terserah kau bilang ini idealis, tapi pada dasarnya ini adalah prinsip!, prinsip yang membuat kau dan aku bisa berada di tataran ini. Muak aku mengikuti kehendak politikus-politikus itu, karena kau yang meminta, sekali lagi aku pasang dada. Dan hutang budi itu lunas!”
Ku dengar om Subur tertawa, “Apa kau lupa kalau engkaupun sekarang seorang politikus? Di mana bumi di pijak di situ langit di junjung kawan, ha ha.. sudahlah, aku atur semuanya besok, tiap paket ke komisi dan banggar kuserahkan kepadamu, mekanismenya bagaimana ku kembalikan kepadamu, aku tau kau punya cara sendiri mengalokasikannya bagaimana.. Aku pamit dulu. Salam ke orang rumahmu dan si Derto”.
***
Gedung pengadilan itu masih ramai, aku tidak berhenti hanya melewatinya, sekelompok kecil massa yang di luar gedung melihat ke arah vespa dan menyadari siapa penunggangnya, beberapa berteriak selebihnya mengumpat, namun tak ku gubris, tangan kiriku menurunkan perseneling sehingga suara mesin mendengung kaget sebelum menderu dengan kecepatan lebih.
Di depanku berdiri rumah mewah bergaya mediterania dengan pilar-pilar besar menopang struktur bangunan 3 lantai di atasnya. Itu rumah Om Subur, lengkapnya plus title H.M. Subur Abadi SH.MM, Bupati terpilih Kabupaten Muara Baru. Rumah itu ramai, terutama setelah apa yang terjadi tadi di ruang pengadilan.
Ayah memilih membacakan sendiri hak yang diberikan hukum perundang-undangan negeri ini kepada seorang terdakwa sepertinya. Dalam pleidoi yang bisa dikatakan bukan merupakan suatu pembelaan, namun nyata sebuah pengakuan.
“Perang terhadap korupsi, kolusi dan Nepotisme adalah perang kita bersama, setiap langkah keputusan strategis dalam ruang ketata negaraan kita tidak lepas dari mekanisme struktural yang mengikat, baik dalam system kelembagaan maupun tradisi kelembagaan. Reformasi emosional yang tidak tersistem membawa banyak sisa-sisa persoalan, dalam melegitiminasi terkadang kita mesti mengikuti tradisi”.
“Saya Abdi Mahardika menyatakan bahwa hal yang di dakwakan kepada saya, tidak sepenuhnya benar, namun saya mengakui bahwa ada sejumlah paket dana yang di bagiakan oleh saya sendiri kepada sejumlah orang demi memuluskan pengesahan anggaran dan itu saya sadari hal tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum, apapun alasannya!”.
Ruang sidang bergemuruh, hakim ketua terpaksa menggebrak meja sidang dengan palunya untuk menenangkan massa.
“Saya hormati hak hukum yang diberikan kepada saya untuk membela diri, namun biarkan saya menunaikan kewajiban saya untuk bertanggung jawab kepada masyarakat atas amanah mereka yang saya lencengkan secara kesatria, inilah hutang budi saya yang sesungguhnya”. Ayah lantas menyebutkan beberapa nama.
Ruang sidang makin heboh, arah pengakuan tersebut sudah sangat jelas mencuil kekuasaan eksekutif dan lingkaran di sekitarnya. Ayah segera di amankan sementara massa kian beringas.
***
Dua hari yang lalu aku menjenguk ayah di tahanan, mengantarkan sambal taucho kesukaannya dan stok sigaret kretek buatan Surabaya satu slop.
“Derto, masih ingat apa yang almarhum kakekmu pesankan dulu saat kamu ketahuan mencuri telur bebek nya?”, Tanya ayah sambil menyalakan sebatang sigaret
“Hahaha.. ingat yah, waktu bulan puasa itu kan?”
“iya..”
“haha.. bagaimana bisa lupa. Kata per kata bahkan” Sahutku sambil tergelak, mengingat telur-telur malang tersebut aku barter dengan mercon cabe untuk dinyalakan waktu tarawih.
“Ayah ingin dengar setiap katanya dari mulutmu”. Pinta ayah sambil tersenyum.
“baiklah..” jawabku sambil pasang gaya menirukan kakek
“Derto, Lelaki itu bukan seseorang yang terus mencari perlawanan dan pembenaran atas apa yang dia lakukan, walaupun kesempatan akan pembenaran itu ada. Berani menyatakan diri salah dan meminta maaf jauh lebih terhormat dan lebih laki-laki..” aku terdiam di akhir kalimat mencoba menerka maksud di balik pertanyaan ayah tadi,
“maafkan ayah atas semuanya”. Ayah menatapku dalam, tampak bias air mata dalam tatapannya
“Dan izinkan ayah kembali menjadi laki-laki”.
***
Air Rambai, Akhir April 2013 04.45
“Malaikat pun dapat berubah menjadi iblis bila terlalu lama berada di dalam neraka”.
“Baik, beri saya waktu 2 hari utuk memikirkannya.”
Dan semuanya pun di mulai. Mendapatkan suara terbanyak di pemilu legislatif pertama era reformasi mengantarkan Ayah menduduki posis teratas di jajaran legislatif kota tempat ku di besarkan.
Om Subur tidak seberuntung ayahku, mandek di legislatif dia mengambil langkah startegis menembus eksekutif. Benturan hebat di lingkaran lama mendorong nya bersama beberapa kologa sejawat menerapkan kesempatan yang diberikan undang-undang otonomi dengan membentuk daerah tingkat dua baru. Kabupatenku ini. Ayahku juga terlibat dengan kapasitas dan kemampuan aksesnya di tingkat lobi dan pansus pemekaran.
Aku kembali ingat saat om Subur berkata di suatu malam.
“Satu-satunya jalan agar korupsi dan birokrasi njelimet di negeri ini musnah adalah menghentikan segala bentuk gratifikasi, termasuk pungutan saat masuk CPNS, nota fiktif, dan fee-fee proyek di cut off sejak awal, tradisi sehat itu mesti di mulai, dan itu harus bersumber dari pemegang kekuasaan. Pemimpin. Aku menginginkan posisi itu. Karena itu visiku. Kau, dukung aku di dewan.” Singkat padat jelas langsung menohok, serbu om Subur.
Aku tidak mendengar jawaban dari ayahku. Hanya desah nafas panjang tanpa iya dan tidak. Aku mengartikan itu adalah iya.
Dan dugaanku benar adanya, sepak terjang kedua partner itu semakin menggila. Dalam proses nya bukan hanya terjadi pergeseran prinsip dan pandangan, lebih jauh makin mengarah kepada Transkulturasi paradigma dalam pelaksanaannya, aku melihat ayah sedikit tidak nyaman dalam pelaksanaan karena sering terjadi friksi antara kebijakan dan pandangan, terutama bila dikaitkan dengan nurani.
“Inilah konsekwensi sebuah perang kawan, selalu ada korban. Seorang Mao Tze Dong mengorbankan ratusan ribu rakyat China lama untuk membentuk China baru, China yang sekarang, China yang gemilang. Kita tidak mesti mengorbankan sesuatu yang se-ekstrim itu, hanya sedikit mengesampingkan pandangan politik pribadi demi kepentingan yang lebih besar bijak dibutuhkan dalam masa transisi ini.”
“Tapi prinsip yang satu itu yang membawa kita hingga ke level ini, cita-cita pergerakan menghapus semua tradisi korupsi, kolusi dan nepotisme. KA-KA-EN, tiga huruf itulah yang menjadi akar dari gerakan reformasi, amanat itu masih menjadi acuan, bukan malah meleburkan diri”. Sanggah ayah.
“Dengan bertahan dengan prinsip itu, kita tidak akan pernah keluar dari kotak, apa yang dapat kita lakukan bila pemerintah pusat meng-anaktiri-kan kita, kabupaten kita. Tangga birokrasi hingga ke kementerian memaksa kita mengikuti tradisi ini. Bukan berarti kita sependapat, namun keluar dari jalur terlalu ekstrim akan melemparkan kita keluar dari jalan besar, kita sedang membangun daerah ini. Berikan apa yang semestinya masyarakat dapatkan, masyarakat butuh pembangunan di segala sektor, dan itu butuh biaya besar, untuk sementara kita hanya bisa mengandalkan pos-pos anggaran dari pusat, bila tidak kita ambil, kita akan tertinggal. Idealis boleh-boleh saja, tapi jangan lupakan ada perut yang juga mesti di isi makanan, dan masyarakat kita juga berperut, dari petani, buruh, pegawai, semuanya berperut. Dan sejatinya perut merekalah yang kita fikirkan, kita perjuangkan.”
“Juga perut penyokong mu, kuperhatikan perutnya jauh lebih besar dari perut rakyat-rakyat jelata-mu”. Nada sindiran tergambar jelas dari suara ayah.
“Naif kau berkata begitu, jangan lupakan kuasanya lah yang menyelamatkan kau dahulu, hingga kau masih bernapas dan tidak tinggal nama seperti rekan-rekan kita yang lain”.
“Mereka berkorban untuk apa yang mereka perjuangkan, apa yang mereka dan kita yakini, ingin aku berada di antara salah satu dari mereka”. desis ayah
“Tidak cukup hanya dengan menjadi martir, era itu telah habis, buka matamu, perjuangan kita jauh lebih berat saat ini, itu faktanya, kita sudah coba dengan berada di luar, tidak banyak membantu, sekarang kita sudah berada di dalam, cobalah untuk beradaptasi dan kita selesaikan apa yang sudah kita mulai, setidaknya sampai periode berikutnya, minimal kita berdua tau makna dari balas budi”.
“atau, kosakata itu sudah tidak ada lagi di kamusmu?” lanjut om Subur
“balas budi?”
“ya, kecuali kau bukan laki-laki!”.
Ayah selalu terdiam dengan dasar-dasar logika sosial om Subur. Begitupun kali ini. Lebih lama dari biasanya sebelum akhirnya menjawab.
“Baiklah, kuikuti maumu. Sekali lagi setelah banyak kali yang kuikuti, terserah kau bilang ini idealis, tapi pada dasarnya ini adalah prinsip!, prinsip yang membuat kau dan aku bisa berada di tataran ini. Muak aku mengikuti kehendak politikus-politikus itu, karena kau yang meminta, sekali lagi aku pasang dada. Dan hutang budi itu lunas!”
Ku dengar om Subur tertawa, “Apa kau lupa kalau engkaupun sekarang seorang politikus? Di mana bumi di pijak di situ langit di junjung kawan, ha ha.. sudahlah, aku atur semuanya besok, tiap paket ke komisi dan banggar kuserahkan kepadamu, mekanismenya bagaimana ku kembalikan kepadamu, aku tau kau punya cara sendiri mengalokasikannya bagaimana.. Aku pamit dulu. Salam ke orang rumahmu dan si Derto”.
***
Gedung pengadilan itu masih ramai, aku tidak berhenti hanya melewatinya, sekelompok kecil massa yang di luar gedung melihat ke arah vespa dan menyadari siapa penunggangnya, beberapa berteriak selebihnya mengumpat, namun tak ku gubris, tangan kiriku menurunkan perseneling sehingga suara mesin mendengung kaget sebelum menderu dengan kecepatan lebih.
Di depanku berdiri rumah mewah bergaya mediterania dengan pilar-pilar besar menopang struktur bangunan 3 lantai di atasnya. Itu rumah Om Subur, lengkapnya plus title H.M. Subur Abadi SH.MM, Bupati terpilih Kabupaten Muara Baru. Rumah itu ramai, terutama setelah apa yang terjadi tadi di ruang pengadilan.
Ayah memilih membacakan sendiri hak yang diberikan hukum perundang-undangan negeri ini kepada seorang terdakwa sepertinya. Dalam pleidoi yang bisa dikatakan bukan merupakan suatu pembelaan, namun nyata sebuah pengakuan.
“Perang terhadap korupsi, kolusi dan Nepotisme adalah perang kita bersama, setiap langkah keputusan strategis dalam ruang ketata negaraan kita tidak lepas dari mekanisme struktural yang mengikat, baik dalam system kelembagaan maupun tradisi kelembagaan. Reformasi emosional yang tidak tersistem membawa banyak sisa-sisa persoalan, dalam melegitiminasi terkadang kita mesti mengikuti tradisi”.
“Saya Abdi Mahardika menyatakan bahwa hal yang di dakwakan kepada saya, tidak sepenuhnya benar, namun saya mengakui bahwa ada sejumlah paket dana yang di bagiakan oleh saya sendiri kepada sejumlah orang demi memuluskan pengesahan anggaran dan itu saya sadari hal tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum, apapun alasannya!”.
Ruang sidang bergemuruh, hakim ketua terpaksa menggebrak meja sidang dengan palunya untuk menenangkan massa.
“Saya hormati hak hukum yang diberikan kepada saya untuk membela diri, namun biarkan saya menunaikan kewajiban saya untuk bertanggung jawab kepada masyarakat atas amanah mereka yang saya lencengkan secara kesatria, inilah hutang budi saya yang sesungguhnya”. Ayah lantas menyebutkan beberapa nama.
Ruang sidang makin heboh, arah pengakuan tersebut sudah sangat jelas mencuil kekuasaan eksekutif dan lingkaran di sekitarnya. Ayah segera di amankan sementara massa kian beringas.
***
Dua hari yang lalu aku menjenguk ayah di tahanan, mengantarkan sambal taucho kesukaannya dan stok sigaret kretek buatan Surabaya satu slop.
“Derto, masih ingat apa yang almarhum kakekmu pesankan dulu saat kamu ketahuan mencuri telur bebek nya?”, Tanya ayah sambil menyalakan sebatang sigaret
“Hahaha.. ingat yah, waktu bulan puasa itu kan?”
“iya..”
“haha.. bagaimana bisa lupa. Kata per kata bahkan” Sahutku sambil tergelak, mengingat telur-telur malang tersebut aku barter dengan mercon cabe untuk dinyalakan waktu tarawih.
“Ayah ingin dengar setiap katanya dari mulutmu”. Pinta ayah sambil tersenyum.
“baiklah..” jawabku sambil pasang gaya menirukan kakek
“Derto, Lelaki itu bukan seseorang yang terus mencari perlawanan dan pembenaran atas apa yang dia lakukan, walaupun kesempatan akan pembenaran itu ada. Berani menyatakan diri salah dan meminta maaf jauh lebih terhormat dan lebih laki-laki..” aku terdiam di akhir kalimat mencoba menerka maksud di balik pertanyaan ayah tadi,
“maafkan ayah atas semuanya”. Ayah menatapku dalam, tampak bias air mata dalam tatapannya
“Dan izinkan ayah kembali menjadi laki-laki”.
***
Air Rambai, Akhir April 2013 04.45
“Malaikat pun dapat berubah menjadi iblis bila terlalu lama berada di dalam neraka”.
http://goo.gl/7OXGTO
Ada Apa Dengan Sikap Ayah
Malam itu sungguh hening, aku tak bisa menyembunyikan kemarahanku saat itu, aku mencoba berbaring di tempat tidur dan memeluk bantal gulingku, berharap emosiku akan hilang. dalam pikiranku saat itu aku hanya memikirkan sikap ayah yang sore tadi memarahiku hanya karena aku meminta uang padanya, karena aku ingin membeli baju baru yang tadi siang aku lihat di sebuah tokok ketika aku pulang sekolah. aku sangat menyukai baju itu. tapi ayah malah menasehatiku dan berkata “jangan terlalu boros dalam hal uang, dan cobalah untuk menabung”. aku sempat mengadukan hal ini kepada ibu, tapi rupanya respon ibu terhadapku sama sekali tidak aku inginkan, ya.. ibu saat itu berpihak kepada ayah. dan berkata “turuti saja apa kata ayahmu, karena itu untuk kebaikanmu juga”.
Waktu menunjukan jam 20. 00 wib, aku pun langsung menarik selimutku dan tidur.
Tepat pada pukul 6 pagi Matahari menyambutku pagi itu dengan cerah, tapi tidak dengan sikap ku pada ayah, pada saat itu aku masih marah terhadap ayah, tapi rupanya ayah seakan-akan tidak tahu tentang sikapku terhadapnya, entah dia berpura-pura tidak tahu atau… ah sudahlah aku sangat benci pada saat itu. aku langsung berpamitan pada ibu untuk berangkat sekolah.
Bel pulang pun berbunyi, karena tidak ada rencana apa-apa aku dan teman-temanku langsung pulang, ketika di perjalanan pulang lagi-lagi aku terbayang dengan baju kemarin di salah satu toko dekat sekolahku. dan ketika aku melewati toko itu ternyata baju yang aku inginkan itu masih ada dan belum terjual, aku sangat ingin membelinya pada saat itu tapi uangku tidak cukup untuk membeli baju itu.
Ketika tiba di rumah aku langsung menceritakan baju yang aku inginkan itu pada ibu, berharap ibu akan memberiku uang yang cukup untuk membeli baju itu, dan pada saat itu ibu sama sekali tidak peduli dan berkata. “baju mu masih banyak yang bagus, dan kalau mau minta uang untuk membeli baju mintalah pada ayah”. dengan wajah yang sangat marah aku pun pergi ke kamar dan langsung meninggalkan ibu yang pada saat itu mengomeliku”. ketika ayah pulang kerja aku menyambut ayah dengan senyuman manisku, dan rupaya ayah kelihatan heran dengan sikapku padanya, dan ayah pun langsung duduk di samping ibu yang pada saat itu sedang duduk di ruang tamu, akupun lagi-lagi menceritakan baju itu dan berharap ayah menuruti permintaanku, tapi dengan wajah yang kalem ayah berkata. “kamu selalu saja begitu nak, tidak pernah berubah, apa yang kamu inginkan seolah-olah ayah harus turuti”.
“Kenapa ayah sekarang sama saja seperti ibu tidak mau menuruti keinginanku, padahal dulu apa yang aku inginkan selalu kalian turuti tapi sekarang…” ayah memotong pembicaraanku dan berkata “dulu memang semua keinginanmu ayah dan ibu selalu turuti, tapi sekarang kau bukan lagi anak kecil kau sudah remaja nak, dan hal itu membuat ayah berpikir, kalau kau hanya ingin terus di suapi oleh kami kapan kau akan mandiiri.” ujar ayah dengan perkataannya yang sedikit membentak.
Waktu menunjukan jam 20. 00 wib, aku pun langsung menarik selimutku dan tidur.
Tepat pada pukul 6 pagi Matahari menyambutku pagi itu dengan cerah, tapi tidak dengan sikap ku pada ayah, pada saat itu aku masih marah terhadap ayah, tapi rupanya ayah seakan-akan tidak tahu tentang sikapku terhadapnya, entah dia berpura-pura tidak tahu atau… ah sudahlah aku sangat benci pada saat itu. aku langsung berpamitan pada ibu untuk berangkat sekolah.
Bel pulang pun berbunyi, karena tidak ada rencana apa-apa aku dan teman-temanku langsung pulang, ketika di perjalanan pulang lagi-lagi aku terbayang dengan baju kemarin di salah satu toko dekat sekolahku. dan ketika aku melewati toko itu ternyata baju yang aku inginkan itu masih ada dan belum terjual, aku sangat ingin membelinya pada saat itu tapi uangku tidak cukup untuk membeli baju itu.
Ketika tiba di rumah aku langsung menceritakan baju yang aku inginkan itu pada ibu, berharap ibu akan memberiku uang yang cukup untuk membeli baju itu, dan pada saat itu ibu sama sekali tidak peduli dan berkata. “baju mu masih banyak yang bagus, dan kalau mau minta uang untuk membeli baju mintalah pada ayah”. dengan wajah yang sangat marah aku pun pergi ke kamar dan langsung meninggalkan ibu yang pada saat itu mengomeliku”. ketika ayah pulang kerja aku menyambut ayah dengan senyuman manisku, dan rupaya ayah kelihatan heran dengan sikapku padanya, dan ayah pun langsung duduk di samping ibu yang pada saat itu sedang duduk di ruang tamu, akupun lagi-lagi menceritakan baju itu dan berharap ayah menuruti permintaanku, tapi dengan wajah yang kalem ayah berkata. “kamu selalu saja begitu nak, tidak pernah berubah, apa yang kamu inginkan seolah-olah ayah harus turuti”.
“Kenapa ayah sekarang sama saja seperti ibu tidak mau menuruti keinginanku, padahal dulu apa yang aku inginkan selalu kalian turuti tapi sekarang…” ayah memotong pembicaraanku dan berkata “dulu memang semua keinginanmu ayah dan ibu selalu turuti, tapi sekarang kau bukan lagi anak kecil kau sudah remaja nak, dan hal itu membuat ayah berpikir, kalau kau hanya ingin terus di suapi oleh kami kapan kau akan mandiiri.” ujar ayah dengan perkataannya yang sedikit membentak.
... baca selengkapnya di : http://goo.gl/hDUzRb
0 Comment to "Ayah, Aku Bangga Padamu! Catatan Putra Seorang Koruptor"
Post a Comment