Friday 30 January 2015

Ibuku Arti Sahabatku


Waktu semakin cepat berlalu. Itulah rangkaian kata kata yang membebani pikiran Lisa saat ini. Lisa adalah siswa yang sedang duduk di kelas satu SMP. Kebetulan hari ini Lisa genap berumur 13 tahun. Ia hanya bisa berharap dengan bertambahnya usianya bertambah juga kebijakan dalam memilih apapun dan semoga bisa membahagiakan kedua orang tuanya.

Ia selalu berharap ingin melihat kebanggaan dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah ayahnya. Meski ia tahu bahwa itu hanya mimpi. Ayah Lisa meninggal dunia setahun yang lalu karena penyakit stroke yang dideritanya. Tetapi keadaan ini tidak membuat Lisa dan ibunya terpuruk dan larut dengan kesedihan. Mereka justru berusaha tabah dan tawakal menerima suratan takdir dari Sang Ilahi Robbi. Lisa juga begitu bangga dengan ibunya. Karena ibunya dapat memerankan dua peran sekaligus, yaitu menjadi ayah dan ibu walaupun belum sempurna tetapi Lisa tetap bangga kepadanya.

Pagi yang cerah, matahari bersinar sangat bersahabat. Pagi ini sebelum Lisa berangkat sekolah ibunya tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya.
“selamat ulang tahun, Nak” kata ibu sambil memeluk Lisa.
“terima kasih, Bu. Ulang tahunku kali ini sangat berbeda. Tiada lagi senyuman manis dari Ayah” kata Lisa dengan wajah yang murung.
“ini..” sambil memberikan sebuah gelang.
“apa ini, Bu?” tanya Lisa.
“ini gelang untukmu. Sebelum ayahmu meninggal ia berpesan pada ibu untuk memberikan gelang ini padamu ketika kamu genap berusia 13 tahun. Ternyata jauh-jauh hari ayahmu telah mempersiapkan itu untukmu.”
“aku pasti akan menjaga gelang ini baik-baik”
“maafkan, Ibu. Ibu tidak bisa memberimu apa-apa”
“ibu tidak perlu meminta maaf padaku. Cukup sisipkan namaku dalam doa ibu”
“kamu memang anak yang baik Lisa”
“ibu kan pernah bilang, mensyukuri nikmat yang ada akan lebih membahagiakan dari pada sibuk dengan keinginan yang belum tentu bermanfaat untuk kita”
Setelah itu, Lisa pamit kepada ibunya untuk berangkat sekolah.

Kesabaran, kebijakan, dan pengorbanan ibunya dalam menghidupinya seorang diri menjadi inspirasi bagi Lisa untuk menghadapi masalah yang telah menantinya. Karena selama kita hidup selama itu pula kita menghadapi masalah. Jika ada orang yang tidak mau memiliki masalah sama saja ia ingin menutup matanya untuk selama-lamanya. Itu juga kata-kata yang sering terucap dari mulut ibunya.

Sembilan kilo meter harus ditempuh Lisa untuk sampai di sekolahnya. Cuaca cerah yang bersahabat membuat Lisa semakin kencang mengayuh sepedanya. Tetapi sepertinya ada yang mengganjal di hati Lisa. Akhir-akhir ini sifat teman-temannya banyak yang berubah. entah apa kesalahan ang telah Lisa perbuat. Padahal selama ini Lisa selalu berpkir sebelum bertindak. Tetapi ia menyadari bahwa tiada manusia yang sempurna, semua manusia asti mempunyai keselahan termasuk Lisa. Ia hanya bisa berharap semoga teman-temannya bisa memaafkan keselahannya.

Sesampai di sekolah Lisa langsung memasuki kelas. Jantung Lisa serasa berhenti berdetak. Tiada seorang pun yang berada di kelas. Saat ini kelas bagaikan pemakaman yang gelap, sunyi dan sepi. Bulu kuduk Lisa mulai merinding. Ia pun mencoba berlari keluar dari kelas. Akan tetapi entah apa yang terjadi, kakinya terasa berat untuk diangkat sepertinya ada yang menahan kakinya. Tapi siapa? Bukankah di sini tidak ada orang selain Lisa. Ia sekarang tak punya nyali untuk melihat ke belakang dan melihat siapa sebenarnya yang menahan kakinya. Kini yang bisa ia lakukan hanya berteriak dan terus berteriak agar ada orang yang mendengarkan suaranya. Tanpa terasa perlahan air mata mula menetes dan mulai menggenangi pipinya yang chabi. Ia hanya memikirkan kejadian-kejadian buruk yang menimpanya jika ia tidak segera keluar dari sini.

Tiba-tiba lampu mulai menyala, dan terdengar suara serentak dengan ucapan “selamat ulang tahun, Lisa”. Ternyata suara itu adalah suara teman-teman Lisa yang telah merencanakan ini jauh-jauh hari. Sebagian besar teman-temannya memberikan kado padanya. Tanpa sengaja Ricky temannya, melihat gelang yang indah dan melingkar di tangan Lisa. Ricky adalah teman sekelas Lisa yang sangat jahil. Hampir semua temannya ia jahili tak ketinggalan Lisa. Dengan sengaja lucky menyenggol Lisa dan membuat Lisa terjatuh. saat ia jatuh, Ricky segera mengambil gelangnya dan ketika ia ingin mengambilnya Ricky justru melempar gelangnya ke arah Lucky. Itu pun berlangsung cukup lama. Ketika Lisa berhasil merebut gelangnya dari Lucky, Ricky justru berusaha mengambilnya kembali. Hingga gelang itu menjadi rebutan mereka berdua. Ricky tetap berusaha keras mempertahankan gelang itu pada genggamannya. Hingga tak disangka gelang itu putus. Lisa tak lagi bisa menahan amarahnya. Ia kecewa pada Ricky dan Lucky, karena mereka telah menghancurkan gelang pemberian ayahnya.

Tet… tet… tet… tet…
Bel berbunyi panjang tanda kegiatan di sekolah telah usai. semua anak-anak langsung berlari pulang. Tetapi tidak untuk Lisa. Melihat Liss kebingungan mencari salah satu manik-manik yang hilang, Ricky dan Lucky merasa iba. Ketika Ricky ingin menghampiri Lisa, ia merasa kakinya menginjak sesuatu. Ternyata benda yan diinjaknya adalah manik-manik yang sedang dicari Lisa. Ricky akhirnya memberikan manik-manik itu pada Lisa dan meminta maaf.
“maafin kami, ya” kata Ricky
“kami tidak bermasud membuatmu sedih” kata Lucky
“kalau hanya bicara itu memang mudah, tetapi coba kalan yang ada di posisiku” Jawab Lisa
“kami mengerti perasaanmu, mungkin jika kami yang berada di posisimu pasti kami akan melakukan hal yang sama” kata Ricky
“kalian tak kan pernah engerti perasaanku! Asal kalian tahu gelang ini pemberian dari Ayahku dan hanya ini yang aku punya” jawab Lisa dengan nada tinggi
“berapa sih harganya? Gelang murahan seperti itu saja diributkan. Masih mending aku mau minta maaf.” Kata Lucky dengan angkuh.
“memang ini gelang murahan bagi kalian tetapi ini sangat berharga bagiku!” Lisa pun segera meninggalkan tempat itu. Ricky sangat kecewa dengan perkataan Lucky pada Lisa mereka pu bertengkar hebat.

Ketika ibu sedang menyiapkan makan siang, tiba-tiba Lisa datang dengan air mata yang tak henti menetes. Lisa akhirnya menceritakan semuanya kepada ibunya.
“kamu tidak boleh seperti itu! Ibu yakin mereka tidak sengaja”
“kenapa ibu jadi membela mereka? Ibu tidak merasakan apa yang aku rasakan”
“kamu salah, ibu merasakan apa yang kamu rasakan. Kalau ibu di posisimu pasti ibu akan memaafkan mereka.”
“tapi kenapa, Bu?”
“karena mencari sahabat seperti mereka itu sangat sulit berbeda dengan mencari musuh”
“Yang harus kamu ingat sahabat itu takkan sirna oleh amarah dan sahabat itu sedetik di mata selamanya di jiwa”
“aku baru mengerti arti sahabat yang sesungguhnya. Seharusnya aku bisa menahan amarahku”
“air tak selau jernih begitu pula perbuatan mereka padamu”
“iya bu, aku berjanji akan meminta maaf pada mereka. Terima kasih, Bu telah Mengajarkanku arti persahabatan”
Ibu hanya bisa tersenyum dan memeluk Lisa.

 http://goo.gl/z8Co8y

Wiro Sableng #145 : Lentera Iblis


Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

Episode : PERJANJIAN DENGAN ROH

PAGI ITU Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata baru saja selesai sarapan. Dia akan segera berangkat menuju Keraton untuk menemui Sri Baginda. Banyak hal penting yang akan dibicarakan. Salah satu diantaranya menyangkut gerakan orang-orang yang menamakan diri dan mengaku berasal dari Keraton Kaliningrat. Saat keluar dari ruang makan seorang pengawal datang memberi tahu bahwa Danang Kaliwarda, kepala pengawal Gedung Bendahara ingin menghadap.

"Danang Kaliwarda....." Patih Kerajaan menyebut nama itu. "Aku pernah melihatnya beberapa kali. Tapi tak pernah bertegur sapa. Pengawal, apa kau tanyakan maksud kedatangannya?"

"Memang ada saya tanyakan. Katanya ada hal sangat penting ingin disampaikan. Namun dia hanya mau bicara langsung dengan Kanjeng Patih," menerangkan pengawal Gedung Kepatihan.

Setelah berpikir sebentar Patih Kerajaan akhirnya berkata pada pengawal. "Aneh juga. Kalau ada sesuatu urusan penting seharusnya Bendahara Wira Bumi yang datang menghadap. Kepala Pengawal itu datang seorang diri atau ada yang menemani?"

"Dia datang seorang diri, Kanjeng Patih."

"Baiklah, suruh dia menunggu di pendopo sebelah timur. Suguhkan kopi jika dia belum sarapan. Aku akan segera menemuinya."

Gedung Kepatihan memiliki dua buah pendopo.

Pendopo besar di sebelah barat, pendopo ke dua di sebelah timur, lebih kecil dan memiliki dua dinding penutup terbuat dari papan jati berukir pemandangan gunung Merapi. Di tempat ini Patih Kerajaan biasanya menemui tamu-tamu tertentu.

Danang Kaliwarda yang duduk bersila di lantai batu pualam bersih dan licin berkilat cepat-cepat berdiri begitu Patih Sawung Giring Bradjanata muncul, melangkah menaiki anak tangga pendopo timur.

"Hormat untuk Patih Kerajaan. Saya Danang Kaliwarda, Kepala Pengawal Gedung Bendahara." Danana Kaliwarda berucap lalu membungkuk dalam-dalam.

Patih Kerajaan menyilahkan tamunya duduk kembali.

Keduanya kemudian bersila berhadap-hadapan. Seorang pelayan datang menating secangkir kopi hangat, diletakkan di depan Danang Kaliwarda.

"Danang Kaliwarda, waktuku tidak banyak karena harus segera menghadap Sri Baginda. Ceritakan apa maksud kedatanganmu. Apakah Bendahara Wira Bumi yang mengutusmu datang menghadapku? Sebelum kau menjawab silahkan meneguk kopi lebih dulu."

"Terima kasih Kanjeng Patih. Saya minum." Selesai meneguk kopi hangat Kepala Pengawal Gedung Bendahara itu meluruskan duduknya lalu berkata. "Kanjeng Patih, saya mohon maaf kalau kedatangan saya begini mendadak, apa lagi sampai mengganggu dan menyita waktu Kanjeng Patih. Saya datang dengan kemauan sendiri. Tidak diutus oleh Raden Mas Wira Bumi."

Sawung Giring Brajanata mengangguk. "Langsung saja pada maksud kedatanganmu."

"Saya datang untuk menyampaikan satu hal yang sangat rahasia, Kanjeng Patih."

Patih Kerajaan angkat kepala sedikit, dua mata menatap lekat-lekat ke wajah tamunya. "Satu hal yang sangat rahasia katamu. Bagiku ini agak mengejutkan. Hal sangat rahasia macam apa? Menyangkut pribadi atau ada hubungannya dengan Kerajaan?"

"Dua-duanya, Kanjeng Patih," jawab Danang Kaliwarda. "Terlebih dulu saya mohon maaf. Kejadiannya berlangsung kemarin malam. Terjadi di halaman belakang gedung kediaman Kanjeng Bendahara. Semula saya merasa bimbang apakah akan memberitahu hal ini pada Kanjeng Patih atau tidak. Kalau saya memberi tahu berarti saya melangkahi atasan saya Raden Mas Wira Bumi. Kalau saya tidak memberi tahu sebagai seorang prajurit saya merasa berdosa pada Kanjeng Patih dan Kerajaan ...."

Patih Kerajaan berusia enam puluh tahun tapi masih berwajah segar dan klimis usap dagunya yang ditumbuhi janggut halus dan rapi.

"Teruskan ceritamu, Danang Kaliwarda."

"Malam itu gedung kediaman Bendahara kedatangan tamu seorang lelaki tinggi kurus dengan penampilan serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Walau dia tidak menyebut nama namun Saya tahu siapa dia karena sebelumnya sudah pernah datang menemui Raden Mas Wira Bumi. Orang itu saya kenal dengan nama Eyang Tuba Sejagat. Pada kedatangannya yang kedua kali ini saya lihat ada sesuatu yang terjadi dengan tubuhnya sebelah luar dan sebelah dalam. Agaknya dia menderita luka dalam parah. Seperti mengalami keracunan yang sangat hebat. Mungkin saya menyalahi adat, namun entah mengapa saya begitu ingin mengetahui apa yang dibicarakan sang tamu dengan Raden Mas Wira Bumi.

Ternyata kecurigaan saya ada hikmahnya. Rupanya, sebelumnya Raden Mas Wira Bumi telah memberi tugas pada Eyang Tuba Sejagat untuk membunuh dengan cara meracuni seorang Kiai yang diam di puncak Gunung Gede bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas ....."

Sikap dan air muka Patih Kerajaan langsung berubah mendengar ucapan Danang Kaliwarda itu.

"Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah seorang suci berilmu tinggi yang dianggap setengah Dewa. Dia banyak membantu Kerajaan. Kalau ada orang jahat ingin membunuhnya pasti ada satu masalah besar dibalik perbuatan keji itu. Danang, teruskan keteranganmu."

"Ternyata Eyang Tuba Sejagat gagal melaksanakan tugas. Dua pembantunya tewas. Dia malah dicekoki Racun Akar Bumi miliknya sendiri oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Untuk mengobati dirinya yang keracunan dia harus membeli obat dari seorang tabib. Obat itu mahal sekali. Eyang Tuba Sejagat minta agar Raden Mas Wira Bumi mau memberikan sejumlah uang. Dia berjanji kalau sudah sembuh akan segera melaksanakan tugas berikutnya." Sampai di situ Danang Kaliwarda tidak meneruskan ucapan, dia menatap sang patih dengan bayangan rasa takut pada wajahnya.

"Kepala Pengawal, kau kelihatan seperti bimbang atau takut meneruskan ucapan ...."

"Maafkan saya Kanjeng Patih. Terus terang saya memang merasa takut karena apa yang hendak saya katakan menyangkut langsung diri Kanjeng Patih."

"Katakan saja. Mengapa harus takut?"

"Tugas berikut yang dikatakan oleh Eyang Tuba Sejagat itu adalah membunuh Kanjeng Patih." Walau suaranya agak bergetar meluncur juga ucapan itu dari mulut Danang Kaliwarda.

Sosok Patih Kerajaan seolah berubah menjadi patung, diam tak bergerak. Air mukanya berubah. Namun sesaat kemudian seringai muncul di wajahnya.

"Apakah ucapanmu bisa aku percaya Danang Kaliwarda?"

"Demi Gusti Allah saya bersumpah saya tidak berdusta."

 ... baca selengkapnya di : http://goo.gl/SDwqoq

Share this

Tag : , ,

0 Comment to "Ibuku Arti Sahabatku"

Post a Comment